Pada suatu hari Nyai Pandanwungu datang ke Kerajaan Karang Sewu. Ia menemui Raja Sindureja dan sang Permaisuri yang bernama Kencanawati. Ia meminta Sang Raja agar mengutus seseorang untuk memetik Bunga Kendaga Buana di puncak Gunung Ijen. Nyai Pandanwungu mengatakan bahwa bunga tersebut sangat berkhasiat untuk meremajakan kecantikan abadi pada wajah yang meminum air tersebut khususnya ditujukan kepada Permaisuri. Selain itu ia juga mengusulkan anak tirinya yaitu Patih Sidapaksa untuk melaksanakan tugas tersebut. Hal itu ditujukan untuk menguji kesetiaan sang patih. Mendengar cerita Nyai Pandanwungu akhirnya Prabu Sindureja menyetujui hal tersebut. Dalam hati Nyai Pandanwungu sangat gembira ia dapat segera melaksanakan rencana jahatnya.
Setelah itu, Patih Sidapaksa dipanggil untuk menghadap. Padahal ia baru selesai melaksanakan tugas penting. Dan sekarang dalam masa istirahat. Untuk menunjukan kesetiaannya kepada Sang Prabu, ia segera berangkat. Disana ia diberi tugas tersebut. Betapa sedih hatinya karena ia harus melaksanakan tugas penting disaat istrinya yang bernama Ni Kembang Arun sangat membutuhkannya. Dikarenakan ia sedang hamil. Mendengar perkataan suaminya hati Ni Kembang Arun sangat sedih. Ia harus menerima dua hal berat yaitu ditinggal suaminya dan berhadapan dengan mertuanya yang selalu jahat dan merendahkan dirinya. Tetapi Ni Pandan Arun tidak mengatakan apapun, ia akan menyetujui keputusan apapun yang diambil oleh suaminya.
Maka berangkatlah Patih Sidapaksa menuju puncak Gunung Ijen. Sebelum ia berangkat, iatelah diberitahu oleh ibu tirinya agar ia jangan pernah kembali sebelum mendapatkan Bunga Kendaga Buana. Karena inti dari tugas ini adalah menguji kesetiaanmu kepada kerajaan ini. Kini sang patih telah menempuh perjalanan yang sangat jauh sampai berminggu-minggu, hingga istrinya melahirkan ia belum kembali. Ni Kembang Arun melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan tampan seperti ayahnya, yang kelak akan menggantikan posisi ayahnya di kerajaan.
Setelah bayi itu lahir, ibu tiri sang patih berpura-pura baik keada menantunya, seolah-olah ia sangat senang dengan kelahiran cucunya. Pada awalnya Ni Kembang Arun merasa heran dengan perubahan sikap mertuanya. Tetapi karena perilaku Nyai Pandanwungu selalu baik terhadap cucunya Ni Kembang Arun mulai percaya kepada mertuanya.
Ketika Ni Kembang Arun akan mandi, ia menitipkan putranya ke nenek dan bibi emban. Saat yang ditunggu Nyi Pandanwungu telah tiba. Ia segera menyuruh bibi emban untuk pergi, lalu ia membawa cucunya ke tengah hutan belakang rumah. Disana ia menghunuskan pisau ke leher cucunya yang masih suci sambil mengatakan, “keturunan darah Jember itu ! Mampuslah, kau !” Mayat anak Sidapaksa itu dibuang ke kali yang sangat keruh dan berbau busuk. Dan pisau kecil itu dibawa kembali untuk digunakan dalam muslihat yang selanjutnya.
Selesai mandi Ni Kembang Arun mencari anaknya. Ia bertanya kepada bibi emban. Kata bibi emban, “Den Putra tadi bersama neneknya”, lalu mereka mencari bayi tersebut sampai seisi rumah. Namun hasilnya nihil. Ni Kembang Arun pun mulai curiga kepada mertuanya, tetapi tanpa bukti yang jelas ia tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa hari kemudian Nyi Pandanwungu datang ke rumah menantunya. Ia berpura-pura kaget saat menantunya mengatakan bahwa cucunya teah hilang. Kemudian ia memaki menantunya dengan kata-kata yang sangat kasar dan kotor.
Setelah kejadian itu, setiap malam Ni Kembang Arun berdo’a agar kelak ia dapat bertemu kembali dengan anaknya yang sangat ia cintai. Ia menangis tanpa henti. Selain itu, ia tidak mau untuk makan sehingga tubuhnya tinggal sisa kulit dan tulang.
Patih Sidapaksa telah berhasil mendapatkan Bunga Kendaga Buana. Iakini telah sampai di kerajaan. Betapa senangnya hati Sang Prabu dan Permaisuri, karena sang Patih dapat melaksanakan tugas sesuai dengan keinginan mereka. Mendengar kabar tersebut Ni Kembang Arun sangat bahagia. Ia akan bertemu kembali dengan suaminya yang sangat ia cintai. Mengetahui kabar yang sama, Nyai Pandanwungu segera menyusun siasat. Ia menunggu anaknya di perempatan yang akan dilalui anaknya. Patih Sidapaksa melewati tempat tersebut sesuai apa yang diperkirakan Nyi Pandanwungu. Ia segera menghentikan langkah kudanya ketika melihat ibunya berada di tengah jalan. Lalu Nyi Pandanwungu menceritakan semua cerita bohong kepada anaknya. Kalau istrinya telah berselingkuh selama Sidapaksa pergi dan ia juga telah membunuh anakmu. Buktinya lihat saja di bawah bantal pasti ada pisau kecil yang berlumuran darah kering. Seandainya ia menangis itu hanya pura-pura untuk menutupi perbuatan bejadnya saja. Dipacunya kuda dengan kencang, sedang Nyi Pandanwungu bergembira melihat peristiwa itu.
Sesampainya di rumah Sidapaksa sangat marah. Ia lalu menyeret istrinya keluar rumah dan memaki istrinya dengan kata-kata yang kasar. Ia terus memaki tanpa memperdulikan apa yang dikatakan istrinya. Ia membawa istrinya ke tepi kali dimana istrinya membuang anaknya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Namun Ni Kembang Arun yang tadinya diam saja tiba-tiba menangis, “Oh, Gusti, ternyata Engkau selama ini disini anakku,” kata Ni Kembang Arun. Tiba-tiba muncul bunga berwarna putih yang besar dari kali tersebut. Airnya yang tadinya keruh dan berbau busuk, kini telah berubah jernih dan harum. Dengan sekejap Ni Kembang Arun melompat kedalam air dan hilang begitu saja. Sidapaksa hanya diam saja tak berdaya melihat kejadian itu. Inti bunga tersebut terdapat wajah anaknya. Ia mengatakan bahwa ibunya tidak bersalah melainkan neneknya yang telah membunuh dirinya. Kemudian muncul bunga yang lebih besar lagi dari dalam kali itu. Didalam bunga tersebut terdapat wajah Ni Kembang Arun. Kedua bunga itu hanyut oleh arus sungai dan hilang dalam sekejap mata.
Dengan perasaan galau Patih Sidapaksa meninggalkan tempat tersebut. Dari balik pohon terdapat Nyi Pandanwungu yang sedari tadi mengintip kejadian tadi. Ia segera lari ketakutan karena ia takut akan dibunuh oleh anak tirinya. Tiba-tiba langit menjadi gelap gemuruh bersahut-sahutan. Seketika itu pula tubuh nenek penuh dengki itu tersambar petir, dan abunya ditiup angin yang keras. Seakan-akan bumipun tidak mau menerimanya. Sejak saat itu tempat tersebut diberi nama Banyu Wangi.
Unsur Intrinsik
Tema
Kesetiaan istri terhadap suaminya
Tokoh
Sidapaksa : setia, patuh terhadap orang tua
Nyai Pandanwungu : jahat, iri dan dengki
Ni Kembang Arun : setia, baik hati
Kencanawati : setia
Alur
Maju karena alur dari cerita ini beruntun antara kejadian satu dengan yang lain
Sudut Pandang
Orang ke-3, karena dalam cerita ini pengarang menggunakan nama tokoh/orang dalam menceritakannya. Selain itu pengarang hanya sebagai pengamat.
Setting
Cerita ini terjadi di Kerajaan Karangsewu
Amanat
- Kebenaran akan selalu terungkap walaupun melalui proses yang panjang
- Siapa yang menanam benih kebaikan pasti ia akan menuai hasilnya begitu pula dengan kejahatan
Setelah itu, Patih Sidapaksa dipanggil untuk menghadap. Padahal ia baru selesai melaksanakan tugas penting. Dan sekarang dalam masa istirahat. Untuk menunjukan kesetiaannya kepada Sang Prabu, ia segera berangkat. Disana ia diberi tugas tersebut. Betapa sedih hatinya karena ia harus melaksanakan tugas penting disaat istrinya yang bernama Ni Kembang Arun sangat membutuhkannya. Dikarenakan ia sedang hamil. Mendengar perkataan suaminya hati Ni Kembang Arun sangat sedih. Ia harus menerima dua hal berat yaitu ditinggal suaminya dan berhadapan dengan mertuanya yang selalu jahat dan merendahkan dirinya. Tetapi Ni Pandan Arun tidak mengatakan apapun, ia akan menyetujui keputusan apapun yang diambil oleh suaminya.
Maka berangkatlah Patih Sidapaksa menuju puncak Gunung Ijen. Sebelum ia berangkat, iatelah diberitahu oleh ibu tirinya agar ia jangan pernah kembali sebelum mendapatkan Bunga Kendaga Buana. Karena inti dari tugas ini adalah menguji kesetiaanmu kepada kerajaan ini. Kini sang patih telah menempuh perjalanan yang sangat jauh sampai berminggu-minggu, hingga istrinya melahirkan ia belum kembali. Ni Kembang Arun melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan tampan seperti ayahnya, yang kelak akan menggantikan posisi ayahnya di kerajaan.
Setelah bayi itu lahir, ibu tiri sang patih berpura-pura baik keada menantunya, seolah-olah ia sangat senang dengan kelahiran cucunya. Pada awalnya Ni Kembang Arun merasa heran dengan perubahan sikap mertuanya. Tetapi karena perilaku Nyai Pandanwungu selalu baik terhadap cucunya Ni Kembang Arun mulai percaya kepada mertuanya.
Ketika Ni Kembang Arun akan mandi, ia menitipkan putranya ke nenek dan bibi emban. Saat yang ditunggu Nyi Pandanwungu telah tiba. Ia segera menyuruh bibi emban untuk pergi, lalu ia membawa cucunya ke tengah hutan belakang rumah. Disana ia menghunuskan pisau ke leher cucunya yang masih suci sambil mengatakan, “keturunan darah Jember itu ! Mampuslah, kau !” Mayat anak Sidapaksa itu dibuang ke kali yang sangat keruh dan berbau busuk. Dan pisau kecil itu dibawa kembali untuk digunakan dalam muslihat yang selanjutnya.
Selesai mandi Ni Kembang Arun mencari anaknya. Ia bertanya kepada bibi emban. Kata bibi emban, “Den Putra tadi bersama neneknya”, lalu mereka mencari bayi tersebut sampai seisi rumah. Namun hasilnya nihil. Ni Kembang Arun pun mulai curiga kepada mertuanya, tetapi tanpa bukti yang jelas ia tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa hari kemudian Nyi Pandanwungu datang ke rumah menantunya. Ia berpura-pura kaget saat menantunya mengatakan bahwa cucunya teah hilang. Kemudian ia memaki menantunya dengan kata-kata yang sangat kasar dan kotor.
Setelah kejadian itu, setiap malam Ni Kembang Arun berdo’a agar kelak ia dapat bertemu kembali dengan anaknya yang sangat ia cintai. Ia menangis tanpa henti. Selain itu, ia tidak mau untuk makan sehingga tubuhnya tinggal sisa kulit dan tulang.
Patih Sidapaksa telah berhasil mendapatkan Bunga Kendaga Buana. Iakini telah sampai di kerajaan. Betapa senangnya hati Sang Prabu dan Permaisuri, karena sang Patih dapat melaksanakan tugas sesuai dengan keinginan mereka. Mendengar kabar tersebut Ni Kembang Arun sangat bahagia. Ia akan bertemu kembali dengan suaminya yang sangat ia cintai. Mengetahui kabar yang sama, Nyai Pandanwungu segera menyusun siasat. Ia menunggu anaknya di perempatan yang akan dilalui anaknya. Patih Sidapaksa melewati tempat tersebut sesuai apa yang diperkirakan Nyi Pandanwungu. Ia segera menghentikan langkah kudanya ketika melihat ibunya berada di tengah jalan. Lalu Nyi Pandanwungu menceritakan semua cerita bohong kepada anaknya. Kalau istrinya telah berselingkuh selama Sidapaksa pergi dan ia juga telah membunuh anakmu. Buktinya lihat saja di bawah bantal pasti ada pisau kecil yang berlumuran darah kering. Seandainya ia menangis itu hanya pura-pura untuk menutupi perbuatan bejadnya saja. Dipacunya kuda dengan kencang, sedang Nyi Pandanwungu bergembira melihat peristiwa itu.
Sesampainya di rumah Sidapaksa sangat marah. Ia lalu menyeret istrinya keluar rumah dan memaki istrinya dengan kata-kata yang kasar. Ia terus memaki tanpa memperdulikan apa yang dikatakan istrinya. Ia membawa istrinya ke tepi kali dimana istrinya membuang anaknya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Namun Ni Kembang Arun yang tadinya diam saja tiba-tiba menangis, “Oh, Gusti, ternyata Engkau selama ini disini anakku,” kata Ni Kembang Arun. Tiba-tiba muncul bunga berwarna putih yang besar dari kali tersebut. Airnya yang tadinya keruh dan berbau busuk, kini telah berubah jernih dan harum. Dengan sekejap Ni Kembang Arun melompat kedalam air dan hilang begitu saja. Sidapaksa hanya diam saja tak berdaya melihat kejadian itu. Inti bunga tersebut terdapat wajah anaknya. Ia mengatakan bahwa ibunya tidak bersalah melainkan neneknya yang telah membunuh dirinya. Kemudian muncul bunga yang lebih besar lagi dari dalam kali itu. Didalam bunga tersebut terdapat wajah Ni Kembang Arun. Kedua bunga itu hanyut oleh arus sungai dan hilang dalam sekejap mata.
Dengan perasaan galau Patih Sidapaksa meninggalkan tempat tersebut. Dari balik pohon terdapat Nyi Pandanwungu yang sedari tadi mengintip kejadian tadi. Ia segera lari ketakutan karena ia takut akan dibunuh oleh anak tirinya. Tiba-tiba langit menjadi gelap gemuruh bersahut-sahutan. Seketika itu pula tubuh nenek penuh dengki itu tersambar petir, dan abunya ditiup angin yang keras. Seakan-akan bumipun tidak mau menerimanya. Sejak saat itu tempat tersebut diberi nama Banyu Wangi.
Unsur Intrinsik
Tema
Kesetiaan istri terhadap suaminya
Tokoh
Sidapaksa : setia, patuh terhadap orang tua
Nyai Pandanwungu : jahat, iri dan dengki
Ni Kembang Arun : setia, baik hati
Kencanawati : setia
Alur
Maju karena alur dari cerita ini beruntun antara kejadian satu dengan yang lain
Sudut Pandang
Orang ke-3, karena dalam cerita ini pengarang menggunakan nama tokoh/orang dalam menceritakannya. Selain itu pengarang hanya sebagai pengamat.
Setting
Cerita ini terjadi di Kerajaan Karangsewu
Amanat
- Kebenaran akan selalu terungkap walaupun melalui proses yang panjang
- Siapa yang menanam benih kebaikan pasti ia akan menuai hasilnya begitu pula dengan kejahatan